Jumat, 19 April 2013

Aku dan Te-Tangga Sekolah ku

Kerjaan ku hanyalah menyapu teras Mushala Sekolah yang berukuran 6 x 10 meter, dibatasi oleh Hijab (Pembatas Teras Mushola) antara Ikhwan dan Akhwat. Setiap hari jum’at terasnya pun harus terlihat kinclong dengan sedikit heharuman khas Super pel di setiap sela ubinnya. Oleh karenanya pada hari itu kerjaan ku bertambah satu, menyulap teras Mushala ini menjadi wangi nan kinclong.

Setiap hari selama satu tahun kujalani pekerjaan ini, yang sebagian murid lain menganggap Ekstrakurikuler satu ini ialah pelajaran tambahan yang menyijikan. Bagaimana tidak setiap pagi rerambutan kain pel ini harus diperas bersamaan air kotor yang telah melekat dengannya. Setiap pagi pula tanpa perintah dari sang komandan, mau tak mau sedikitnya tidak ada dedaunan yang hinggap di celah-celah ubin biru bertatakan kasar ini. Bahkan setiap awal dan akhir shalat Dzuhur maupun Ashar kain-kain tempat para murid sujud sudah bertatakan rapi di tempatnya.

Heran bagi mereka,
“Mengapa aku harus menghabiskan waktu sekolah ku hanya untuk menyapu, mengepel, dan tak jarang membersihkan closet kamar mandi?”, “Memang loe nggak punya rumah apa”, sahut diriku.
“Alah mau dikata rajin ape? Noh! emak ente di rumah bagimane?”, kira diriku.
Ah, ternyata itu hanyalah imajinasi ku yang terbang tanpa awak layaknya Pesawat Drone ala Amerika. Memborbardir segala potensi kebaikan dalam diri ini, melemahkan tekad mengangkat air dengan ember dari pancuran tempat wudhu ke tengah-tengah padang amalan yang tak terkira.

Hilir mudik para siswa, naik turun tangga para guru di awal hari dengan bentangan samudra biru di atas kepala juga sedikit kekuningan lampu sorot arah timur dari yang maha kuasa, pertanda yang Maha Esa masih memberikan kasih sayangnya kepada kita untuk berubah. “Inilah perubahan!”, sibak rambutku dengan sesekali usapan kedua belah tangan merayu wajah ku.

Sejenak ku terpaku di sudut teras mushala, tak hayal ku lantunkan lagu yang aku sendiri pun tak hapal betul liriknya bahkan Munsyidnya pun saja tak tahu pasti. Tak apalah walaupun hanya sekedar sempat mendengar dari salah satu personal Nasyid sekolah, tapi cukuplah menghibur hati. Yah, walaupun satu bait syair yang diulang-ulang sih.

“Aku ingin mencintai mu setulusnya, sebenar-benar aku cinta dalam Do’a, dalam Ucapan padamu Ya Allah”

Bahkan disaat orang-orang berlari kecil atas urusannya masing-masing tetap ku lantunkan lagu ini, rasanya lagu ini sangat cocok bagi kehidupan ku saat ini. Hingga di satu titik ku hentikan syair yang merdu ini tatkala menghampiri perempuan berambut pendek melintas didepan mushala. Menyala-nyala sudah piston jantung ini, memompa darah bak pertamax yang disulut oleh percikan api dari businya ketika distarter oleh Shumacer. Hingga finish lah ia melalui gerbang sekolah, lalu tak disangka pertamax ane pun habis, hehe.

Keesokan harinya motivasiku berubah, lantunan syair pun ikut berubah yang kali ini sedikit melayu ala Munsyid Innoru.

“Tak pernah ku dapati indahnya sebuah pribadi seperti yang kau miliki,
kau bagaikan karang di tengah lautan,
tetap bertahan dari deburan,
ombak yang menerjang,
…”

Eh, memang benar ada ombak yang menerjang. Ternyata temen satu perjuangan ku kepleset ala Tazmania berguling-guling, maklum badannya segede galon Aqua sih.

Setiap pagi aku dapat dispensasi dari Rohis untuk tidak mengikuti Kajian, kalaupun ikut paling di 5 menit terakhir sebelum bubaran. Namun pagi itu teras mushala tak terlalu kotor hingga tak sulit untuk dibersihkan, jadi kajian setiap pagi sebelum memulai pelajaran kali ini bisa ku ikuti dengan khusyu’.

Dengan sayup-sayup mata mendengar setiap celoteh pengisi kajian pagi ini, layaknya dongeng sebelum tidur yang dibacakan seorang nenek-nenek. Hingga hentak menghujam pendengaran ku atas satu ayat Al-qur’an yang diperdengarkan akhi itu,

ياأْيّها النّبي ّقل ْلأزْواجك وبناتك ونساء المؤْمنين يدْنين من جلا بيبهن ّذلك أدنى أن يعْرفْن فلا يؤْذيْن وكان الله غفورا رحيما

“Wahai Nabi!, Katakanlah kepada Istri-istrimu, anak-anak perempuan mu dan istri-istri mukmin, “Hendaklah mereka menutupkam Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”

Hari itu ia menjanjikan pada kelas ku bahwa besok akan memberitahukan surat apa yang dibacakan atas kami, hingga keluh kesah menyelimuti atas kami yang akan memiliki istri. “Lho? Kok?, hehe”

Surat Al-Ahzab ayat 59 itulah asbabun niat ketika ditanya oleh salah satu akhi di sekolah kami,

“Dek, antum mau bantu kami ngisi nggak?”
Nyeplos deh ini mulut berkata “Mau Akhi!, Mau beuds…”
“Eh akhi, kan aku belum pernah ngisi begimane bise?, ntar yang ada sesat semua pada anak-anak”
“Makanya ikutan On The Job Training dulu”
“Hehe…” Sambil garut-garut kepala
“yang bener ini akhi?”
“bener…”
“Serius?”
“Iy serius, aduh ini anak”, tepuk jidad
“Wah hebat dong?”
“Apanya yang hebat?”, mulai bingung
“yang itu tuh!”, sudah ngelindur tuh imajinasi

Perekrutan dimulai!,

“Kalau mau jago di depan orang ikutan Training mengisi kajian”, sahut akhi Azwar
sambil menempel kertas A4 full warna di Majalah dinding sekolah. Satu lembar lainnya pun ikut nempel di Majalah dinding mushala, dengan versi hitam putihnya ala kantin sekolah.
“HTM?, apa itu? Kok ada Rp. 5.000 nya?”
“Itu namanya iuran untuk ikutan acara itu” sahut teman sebangku ku Lido
“Kok gitu ya?, nggak gratis apa?”
“Modal dong, katanya mau seperti akhi Oksa yang kemarin sempat mengisi kajian di kelas kita kemarin”
“Iy juga sih”, Flash back cerita kemarin dengan lido

Mental miskin itu sebenarnya tidak hanya ada pada orang-orang miskin saja, tapi orang kaya pun ada yang bermental miskin. Contohnya yang sudah kaya masih saja membeli premium atau bensin yang nyata-nyatanya disubsidi dari pajak sebagai sumber terbesar APBN Negara, lah pajak itu pemulung, pengemis, bahkan peminta-minta pun ikut menyumbang. Mengapa mereka tidak pernah mau beralih ke pertamax yang tidak dibebani subsidi?, bukankah itu mental miskin?.

“Do!”
“ehm, iya apa?”
“kalo gue mental miskin kagak?”, sambil menutup sebagian wajah dengan buku
“yah nggak lah, kan kamu dak minta-minta apalagi meminta subsidi seperti yang dibilang Pak Bambang”
“Iy tapi kan…”
“Tapi apa?”
“Tapi kan nyatanya aku ndak bisa bayar HTM untuk acara itu!”
“Acara yang mana?”
“Itu yg pamfletnya ditempel akhi Azwar di Mading mushala?”, sambil menunjuk ke luar jendela
“Oh yang itu?, sabar aja mulai dari sekarang nabung biar bisa ikutan”
“Kamu ikutan do?”
“Ikutan lah, nggak mau kalah dari mu lah!”
“Hehe…”, sambil menepuk punggung teman sebangku yang satu itu

“H-1 sebelum acara baru terkumpul 3000 rape’ah”, masih kurang keluh ku. Sepertinya besok tidak bisa ikut di acara itu, setidaknya aku masih memiliki teman sebangku yang ikut. Jadi bisa ditanya-tanya ilmu apa yang didapat olehnya, untung-untung dia mencatat materinya atau sekedar mengcopy data dari pembicaranya.

Pekerjaan tetap tidak bisa ditinggalkan karena jika terbengkalai banyak dedaunan yang bertebaran dari dahan pohon sebelah mushala. Seperti biasa syair-syair nasyid merdu tak karuan keluar dari lisan ini menemani sebilah sapu bergoyang menyisihkan debu-debu yang berserakan diatas lantai. Sesudahnya pun dibasahi dengan air tak berpewangi diatasnya, agar tetap kinclong bak lantai kaca kerajaan Sulaiman alaihissalam yang dapat melirik birunya air bersamaan ikan-ikan cantik didalamnya.

“Hey kesini!”
“Ana akhi?”, tengok kiri kanan tiada orang
“Iya lah antum, mau siapa lagi coba?”
Ketua Rohis yang memanggil, ialah suatu kehormatan besar bisa berhadap-hadapan di depannya.
“Iya akhi, ada apa? Ada yang bisa dibantu?”
Biasanya ia sering minta bantu membuang sampah pada tempatnya, setelah kotak sampah penuh di tempatnya tatkala ia sibuk dengan urusannya.
“Besok antum ada acara tidak?”, memegang pundak sering menjadi kebiasaan bagi akhi Ichlas ketika berbicara kepada yang lebih muda, aku merasa sikap ini ialah suatu bentuk penghormatan pada yang muda dan norma kesopanan yang luar biasa ketika seseorang ingin perkataannya didengarkan.
dengan sigap aku menjawab, “Tidak ada akhi, ada apa memang”
“Besok tolong bantu akhi Andre ya di seksi peralatan, bisa? Yah sekalian ikutan acaranya, kalau sedang tidak ada kerjaan duduk manis dengarkan pembicaranya”
“Ini beneran akhi?”
“Iya, tapi di proposal nama antum tidak dimasukkan”
Sebenarnya aku mau bertanya apa itu proposal?, tapi sudahlah yang penting aku bisa ikut acara itu.
“Ya tidak apa-apa akhi, syukran ya akhi”
“Afwan, barakallah ya”

Acara selesai dengan lancar meski tubuh letih mendera, merana rasanya karena besok masih hari libur, Alhamdulillah. Meski letih mendera tubuh ini, tapi lebih pilu lagi hati ini ketika ada pada satu momen, dimana akhi Husin yang kabarnya Aktivis Kampus Universitas Muhammadiyah Palembang Jusrusan FKIP Bahasa Inggris berujar tegas.

“Sesungguhnya amalan kita ini bergantung pada niatnya!”, layaknya seorang Umar al-khatab ia menambahkan dengan jelas hadist Rasulullah shalallahu alaihi wassalam

"عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ))"

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang berhijrah kepadanya.” (H.R Bukhari & Muslim)

Sejak saat itu rambut-rambut hitam yang senantiasa bergoyang menyapu lantai menyambut irama merdu Innoru, tidak sendiri menyepi ala edcostic dengan disisipi syair-syair Nasyid Izzatul Islam. Bahkan tak jarang nasihat-nasihat penggugah Tufail al-ghifari menyeruak dibalik lembutnya nasihat-nasihat dari Raihan.

Dan ternyata nasihat dari guru sekolah ku bapak Ahmad menutup keyakinan ku bahwa lelaki dan perempuan akan bermuara satu yang bernama kebaikan dalam Surat An-nur ayat ke 26,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”

Maka cukuplah kekata dari penjaga sekolah kami bapak rizal yang sempat berdongeng mengenai Surga dan Neraka yang nyata, mengkunci keteguhan ku mencari Kaffahnya Islam dulu dalam “Udhuluni fi Silmi Kaffah” baru mencari “Arrijal qowwamuna ala nnisa” nya tulang rusuk ku yang hilang.