Rabu, 24 Oktober 2012

Jalan-Mu Pada Alif kecil-ku


Betapa nelangsa nasib anak kecil yang mengemis dari lagu-lagu tadi, bajunya lusuh tak tertata rapi menghadirkan rasa iba kepada penikmat lagu dangdut jalanan. Disaat seusianya mengemban tugas mulia belajar ilmu pasti, sejarah, bahasa , dan prilaku mulia. Sang anak hanya dapat mempelajari kehidupan dari perjuangan mencari sesuap nasi di tengah jalanan ibu kota.

Gemericing tutup botol Teh Sosro yang dipaku ke sebilah kayu bergetar kesana kemari, sedang senar gitar berpetik mengiringi lagu “Hidup ini adalah anugrah” Karya Band Ibu Kota Jakarta. Entah dari mana mereka bisa melafalkan setiap lirik lagu penyemangat hidup ini dengan fasih, padahal usia mereka masih berumur belia.

“Tetap jalani hidup ini menjadikan yang terbaik, Tuhan Pastikan menunjukkan Kebesaran dan Kuasa-Nya pada Hamba-Nya yang sabar dan tak pernah putus asa”

Sontak bagi siapa pun yang mendengarnya terasa lebih semangat menghadapi pergumulan hidup yang tiada habisnya. Tapi siapa sangka akan berubah rasanya bila dilatunkan oleh teman-teman kecil di bawah lampu merah. Rasanya sedikit lirih menyesak ke hulu dada.

Yah, inilah kenyataan yang wajib dihadapi oleh mereka. Sedikitpun tak ada penyesalan didalam dada-dada mereka terlahir sebagai pejuang jalanan. Bahkan Otak mereka pun tak sempat mengutuki keadaan, keadaan yang membuatnya tak mampu mencicipi ilmu Dunia bahkan akhirat.

“Koran-koran, Koran-koran, korannya Pak, Korannya Buk!”
“Berapa Nak?”
“2500 Rupiah Bu”
“Ini Nak, ambil saja lebihnya”
“Terima kasih Bu!”

Ya Rabbi, 2500 rupiah? Berapa sih untungnya?. Peluh keringat yang mengucur hingga azan zuhur rasanya tidak cukup hanya dibayarkan beberapa ribu rupiah saja. Tak sebanding dengan pengorbanannya merelakan hidup demi mencari secarik lembar rupiah, padahal usianya terbilang muda dan belia, tapi apakah ia mengeluh? Tidak!.

Bahkan si Alif kecil pun tetap bersemangat menghadapi pergumulan hidup, menghidupi diri dan keluarganya. Menabung sedikit demi sedikit dari hasil jerih payah nya menjual Koran di persimpangan Lampu merah. Demi Ilmu yang bisa menghantarkannya kepada indahnya dunia dan abadinya akhirat.


###


“Sesungguhnya Tuhan mu tidak akan mengubah keadaan seorang hamba, sebelum dirinya sendiri yang mengubah keadaannya”
“Abi...”
“Ya Nak”
“Apakah kita sudah dan sedang berusaha mengubah keadaan kita?”
“Tentu Nak”
“Tapi bi,”
“Tapi apa anak ku?”
“Tapi mengapa keadaan kita masih belum berubah, apakah Tuhan tidak sayang lagi kepada kita bi?”

Memandang kedepan sambil membenarkan peci Alif, “Tidak Nak, sama sekali tidak. Justru Allah sekarang sedang mengubah keadaan kita”

Sambil memangku Alif kecil diatas pahanya, Hadi memberikan petuanya, “Nak, Allah akan mengubah kedudukan dan keadaan hambanya hanya pada saat hambanya siap menerimanya”

“Oh jadi sekarang kita masih belum pantas mendapatkannya ya bi?”
“Belum pantas Nak, sampai ketaatan dan ketaqwaan menyelimuti pribadi kita”
“Ayo Nak lanjutkan lagi tilawah mu!”
“Baik Abi,”


###


Umurnya memang masih tergolong belia, tujuh tahun yang belum menghantarkannya mengenyam pendidikan bangku sekolah menjadi kesedihan bagi Alif. Bukan karena tak mau sekolah, melainkan kondisi perekonomian mereka yang pas-pasan, ditambah lagi mahalnya biaya pendidikan saat ini.

Baik anak jua ayah, bukan tak mau menyekolahkan sang pujangga hati. Tapi lebih karena penghasilannya sebagai buruh harian lepas hanya cukup membeli makan di tiga kali keseharian hidup mereka, ditambah harga sewa rumah tempat tinggal mereka meroket naik seiring naiknya harga BBM dan Tarif Dasar Listrik.

Uniknya sang anak terus termotivasi membiayai kehidupan belajarnya sendiri, sekalipun harus berjuang menjual Koran di persimpangan lampu merah. Paling tidak hasil kerja kerasnya itu bisa membantunya menyisihkan uang sedikit demi sedikit untuk mendaftar sekolah di tahun ajaran baru tahun ini.


###


Hujan pun turun berkelindang di depan rumah Alif, namun Abinya yang belum pulang dari mencari nafkah menjadi kegelisahan baginya. Hingga bangku di teras depan menjadi pilihan bagi Alif menunggu Abinya yang belum pulang.

Sambil menatap ke langit hitam yang menyambar dengan kilat-kilatnya menggelegar, si Alif kecil memandang kosong penuh harapan pada Illahi hingga menitikkan butiran demi butiran air matanya. Mengiringi rintihan air hujan yang sedang membasahi bumi.


###


Ketika malam datang mencekam
Kulihat si Alif kecil yang malang
Duduk tengadah kelangit yang kelam
Meratapi nasib diri

Ternyata sedari tadi si Abi kehujanan bersembunyi di balik pohon pisang sebelah rumah, dengan membawa nasi bungkus santapan malam mereka berdua. Namun kali ini ia tidak tega mengejutkan anaknya yang sedang bertafakur berlinangan air mata. Kakinya tertahan oleh basahan pipi Alif yang berwarna merah karena tersedu sedan mendengar rerintihan hujan deras sore ini.

“Alif kecilku maafkan Abi yang tak mampu membahagiakan mu di Dunia”, sahut batin Hadi yang ikut menangis melihat sang anak berlinangan air mata.

Kilat seakan menyambar kedua hati mereka dan hujanpun turun terasa tiada berhenti, membuat hati mereka berdua semakin basah dan resah.
Hingga terlontar di masing-masing benak keduanya, “Kapankah semua ini kan berakhir Ya Rabb?”

Tak kuasa Hadi melihat anaknya menangis sejadi-jadinya, maka diletakkanyalah nasi bungkus tadi diatas meja teras. Lalu diraih tangan Alif dan dirangkulnya tubuh Alif yang kecil, kemudian ia berdo’a kepada sang Pemilik Hujan, pemilik segala pinta.
“Ya Allah tunjukkan jalan-Mu
Pada Alif kecil-ku
Agar dia dapat menahan cobaan dan rintangan
yang datang menghadang”

Suasana menjadi renyuh oleh tangisan suara Abi dan Alif, kini di alam ini bukan hanya kilat yang menyambar, bukan hanya petir yang menggelegar, dan bukan hanya hujan saja yang menari-nari diatas bumi. Tapi hati kedua insan ini pun ikut basah oleh hujan, getir oleh kilat dan sesak oleh petir.


###


Still learning to write, please comment!
:-)

Selasa, 23 Oktober 2012

Cukupkanlah Hamba sebagai Daris

Wahai illahi Rabbi
Sungguh besar nikmat yang Kau hadirkan kepada hamba
Hingga tak sanggup Ranting menjadi Pena
Lalu tak cukup samudra dijadikan Tinta
Menghitung nikmat kehidupan ini

Yaa ahsanul khalik
Bagaimana mungkin Engkau tancapkan Gunung di atas Tanah kami
Mengangkat Langit tak bertiang
Membentangkan Samudra tiga perempat Bumi
Menghadirkan daratan bersama rerumputan dan ilalang

Maha Penabur Rahmat
Tiada kuasa kami atas kehidupan
Walau sekeras apapun Ikhtiar
Walau Sepanjang Do'a pengharapan
Hanya Engkaulah penguasa Safar

Yaa Rabbi pecinta ampunan
Setiap saat kealfaan tergores di Diary
Terkadang kecil kadangkala besar
Memang inilah hamba yang Insany
Istiqomah ialah usaha yang sukar


Pembolak balik hati
Rencana Mu Rahasia yang tak mungkin diketahui
Singga sana Mu yang Agung diatas Arasy
Pertanda Lauhul Mahfuz hanya milik-Mu Pribadi
Maka tuliskan kebaikan bagi kami

Wahai Pemilik Ruh Alam Semesta
Jagat Raya Selalu berotasi juga berevolusi
Tawaf di bawah Kuasa Arasy Mu dengan Tasbih
Maka Wahai Pemilik Ruh
Mudah bagimu mentawafkan ketaatan bagi kami
Dengan Zikir yang Lirih

Arruhul Jadid yang Engkau Janjikan
Pembaharu pembaharu Ruh dengan ketaatan dan ketakwaan

Yaa Rabbil alamin
Tiada ketaatan dan ketaqwaan ila bil ilmin
Maka Karuniakan Setetes air dari lautan ibrah Mu
Agar ketaatan dan ketaqwaan terkarunia indah dari Mu

Wahai Pemilik Miftah dari segala penjuru Pintu
Tuntun Hamba pada ke-Esa-an Mu
Bukalah Darul Kufur wa Kufar
Hingga menjadi Ingkar
Terhadap Thagut dan Syathan Kufar

Maka Yaa Rabbi cukupkanlah Hamba sebagai Daris
Dari Maktabah millah Ibrahim alaihissalam yang Hanif

Minggu, 21 Oktober 2012

Bang Jangan Tinggalkan Salma

Peluru melesat ke segala penjuru, berkeliaran mencari mangsa di segala tempat ia bersembunyi. Sedang terdapat anak kecil belarian kocar kacir mencari saudara lelakinya yg melempari tank-tank besar, dengan rudal yang kabarnya melebihi hulu ledak nuklir milik Amerika. Sahut menyahut dentuman keras keluar masuk telinga ke kepala mereka di sisi jalanan lengang kedamaian.

Wusshhh…,
wusshh…,
wussh…,
terdengar angin yg lalu lalang kesisi kiri dan kanan tubuh pejuang yang kabarnya para teroris haus kemenangan.
Teng…tang…teng…tang…
graakkk,
suara suara khas itu bergantian menggelayuti tiap tiap baja yang gagah di hadapan mereka. Tak hayal, mereka tak gentar menghadapi mobil dinas musuhnya, lantaran mereka memiliki rudal rudal nuklir yang hebat hulu ledaknya…
Abang…!, abaang…
sahut sang adik kecil dari belakang , sambil membawa rudal bersekala kecil di kedua tangannya.
Jangan menyerah bang…!, sampai rudal-rudal kita habis tak bisa terpakai kembali!

Ayooo!..., serbuuu….serbuu terus bang….!

Sambil tersenyum kekiri sedikit keatas sang abang berkata,
Wah Loe gila salma…. Memang ini Game Online apa?, nyawa kita Cuma satu disini, nggak bisa diisi ulang.

Belum sempat membalas apa yang diucapkan abangnya,
tak sengaja dari arah jam duabelas kuningan tajam melesat ke arah mereka,
buuffhh….
rrsss….
tuph..,
menanncap ke sebalah tangan kanan salma.

Nah loe liat sendiri kan bang, gua masih hidup… Nyawa gua banyak… sambil tersipu malu si salma menjawab.

Tak pelak sang abang maju kedepan membawa kayu bakar yang telah disulut dalam dirinya, tanpa memperitungkan berapa banyak rudal yang dibawa oleh nya. Lalu ditembakkanya ke tiap tiap tentara di depannya.
Jegar…jeger…jegar…jegerrrrr…..
Mattttiiii kaliaaannn.....
Seakan rudal rudal itu berlarian ke tujuan yang telah ditentukan,
Wwiiingg….,
akhirnya satu tiga orang tentara hilang kesadaran karena rudal rudalnya yang hebat menancap tepat di dada anti peluru mereka.

Namun karena kurangnya strategi perang yang memadai, sebagai akibat tak mematuhi Konficius. Akhirnya sang abang tergeletak tanpa kaki tertebas parang tajam dari arah samping,
psiuuuff….
krekkk….,
Arrrrggghh… ,
Masyaallah,

Tanpa kehilangan keberanian, ia mencari kembali rudal rudalnya yang berjatuhan, lalu ditembakkanya ke arah tentara tentara itu,
Biusshh…,
biusshhh…,
Tuph…,
tuph…,

Tapi kini memang nasib na’as berpihak pada anak lelaki bernama Abdurrahman ini, setelah kakinya hilang, kini nyawanya pun melayang berkobar syahid dengan dua kalimah syahadat tanpa bimbingan dibawah tank besar yang melindasnya.
Maattiii lah engkau terorisss!!!
matiiiilah kau jahannnamm….,
Sahut tentara berseragam putih padang pasir yg mengatasnamakan diri mereka pasukan perdamaian.
Krrraakkk…, prrraakkk….,
Hannnccuuur kauuuu!!!
hancuuurrr…

Tak pelak saudarinya perempuan tadi yang berusia sepuluh tahun iri & kecewa melihat abangnya mendahuluinya pergi ke pangkuan illahi atas nama syahid membela aqidah mereka.

Seharusnya salma bang,
salma yang menginginkan syahid terlebih dahulu ketimbang abang!,
cukup sudah abang mendahului saya tiga menit terlahir ke dunia ini sepuluh tahun lalu,
Aaarggghh….
Allaaahuuu Akbaaarrr!
Alllaaahuuu Akbaarrr!
Abaangg!
saya tak rela kau tinggalkan aku sendiri disini lalu mendahului ku kembali, sedang engkau menikmati indahnya syurga pertama kali….

Dengan membawa rudal rudal kecil berpenghulu ledak melebihi hulu ledak nuklir amerika,
sambil berteriak kencang ia berlari menuju tentara tentara itu….
Allaahuuu akbaarrr!
Wahai Zionis Laknatullah alaih!
Mattiiiii kauuu!

Guarrr…,
guarrr…,
gerrr…,
ternyata si salma berhasil melemparkan rudalnya ke tiga penjuru tentara itu
dan kalimat thoyibahnya nya kali ini mengakhiri perjuangan nya selam tiga tahun terakhir bersama keluarganya,
dengan kuningan panas yang melesat ke jilbabnya ia berkata
“Alhamdulilllahhh abang saya berhasil…”
Disisi lain para teroris gadungan tetap berjuang menembakkan rudal rudal mereka ke segala penjuru yang mereka inginkan, dengan sedikit lafadz takbirrr akhirnya rudal itu memiliki hulu ledak yang dahsyat dalam menggempur para tentara itu. Bahkan tak sedikit dari mereka mengambil kembali bekas bekas rudal mereka yang berjatuhan sebelumnya,
Yah,
itulah rudal mereka, yang memiliki hulu ledak dahsyat melebihi hulu ledak nuklir amerika,
yaitu rudal dari batu tanah kelahiran mereka sendiri dengan sentuhan kalimat tauhid yang mengEsakan.

Allahummansur fil mujahidin!