Jumat, 07 Februari 2014

Dia Wanita yang Shalihah

Meski Bidadari Surga dikabrakan memiliki Sayap yang dengan kedua sayapnya bisa menyelimuti Bumi. Walau kecantikan parasnya bisa meredupkan bintang Bima Sakti Matahari. Sedang Air liurnya bila tumpah bisa membanjiri Bumi. Tetapi mereka masih tetap cemburu wahai Azwaji (Pasangan) ku wanita shalihah penyejuk mata kaum lelaki. Karena taat mu pada Tuhan kita dan patuh mu pada titah khalifah sang suami tercinta.

Jauh perjalanan mu menjadi seorang shalihah, taat mu pun ditempuh dengan peluh keringat. Namun sepadan Tuhan menggantikannya di bumi, engkau diletakkan surga di bawah kakinya untuk setiap anak yang engkau lahirkan. Dan cukup sudah jaminan surga yang di bawahnya selalu mengalir Air jernih laksana Istana Sulaiman, sebagai balasan taat mu kepada perintah suami yang selalu menjaga ketaatan kepada Tuhan nya.

Masa muda yang dirimu habiskan ialah awal kecemburuan para bidadari surga, untuk menatap iri kepada mu. Indahnya tilawah qur'an yang selalu engkau haluskan di balik bilik kamar mu, merendah mengayun lembut mengiringi tiap bait syair bahasa tuhan yang engkau baca. Memastikan bahwa tiada telinga lelaki di luar kerabat yang dapat mendengar khasnya suara tajwid dari bacaanmu. Kehati-hatian yang engkau pelajari dahulu di bangku panjang surau dekat rumah mu semasa kecil, menjadi landasan keyakinan bahwa mengeraskan suara dihadapan telinga lelaki dari kalangan luar karabat ialah aurat yang harus ditutupi.

Oh Tuhan,
Sungguh pantaskah diri ini bertemu dengan wanita yang separuhnya seperti ini, bahkan seperempat darinya?
Kian hari membayangkan keindahan perhiasan paling indah di dunia, berharap mendapatkan ia yang se-shalihah seperti dibayangkan. Hanya untuk bertemu bukan untuk memiliki apalagi menikmati.

Dunia tanpa wanita ialah hampa karena hadirnya cinta tersebab olehnya juga. Apalagi hidup tanpa wanita shalihah di sisi pria alangkah merana dunia oleh tiadanya takwa di setiap kasih sayangnya. Cukuplah ibu menjadi gambaran jelas yang dihadapi sedari kecil hingga dewasa, betapa hebatnya ia mengarungi kehidupan hebat bersama keluarga kecilnya. Bersama cerita ini tumbuh juga harapan dengan ia yang shalihah, untuk kembali merajut kisah terulang di kehidupan masa depan.

Jumat, 31 Januari 2014

Hanya Tuhan yang Tahu

Ku pendamkan perasaan ini
Ku rahsiakan rasa hati ini
Melindungkan kasih yang berputik
Tersembunyi di dasar hati
Ku pohonkan petunjuk Illahi
Hadirkanlah insan lah sejati
Menemani kesepian ini
Mendamaikan sekeping hati
Oh tuhanku
Berikanlah ketenangan abadi
Untukku menghadapi
Resahnya hati ini
Mendambakan kasih
Insan yang kusayang
Dihati ini
Hanya tuhan yang tahu
Dihati ini
Aku rindu padamu
Tulus sanubari
Menantikan hadirmu
Hanyalah kau gadis pilihanku
Kerana batasan
Adat dan syariatMenguji kekuatan
Keteguhan iman
Insan yang berkasih…

Nasyid Unic

Jumat, 19 April 2013

Aku dan Te-Tangga Sekolah ku

Kerjaan ku hanyalah menyapu teras Mushala Sekolah yang berukuran 6 x 10 meter, dibatasi oleh Hijab (Pembatas Teras Mushola) antara Ikhwan dan Akhwat. Setiap hari jum’at terasnya pun harus terlihat kinclong dengan sedikit heharuman khas Super pel di setiap sela ubinnya. Oleh karenanya pada hari itu kerjaan ku bertambah satu, menyulap teras Mushala ini menjadi wangi nan kinclong.

Setiap hari selama satu tahun kujalani pekerjaan ini, yang sebagian murid lain menganggap Ekstrakurikuler satu ini ialah pelajaran tambahan yang menyijikan. Bagaimana tidak setiap pagi rerambutan kain pel ini harus diperas bersamaan air kotor yang telah melekat dengannya. Setiap pagi pula tanpa perintah dari sang komandan, mau tak mau sedikitnya tidak ada dedaunan yang hinggap di celah-celah ubin biru bertatakan kasar ini. Bahkan setiap awal dan akhir shalat Dzuhur maupun Ashar kain-kain tempat para murid sujud sudah bertatakan rapi di tempatnya.

Heran bagi mereka,
“Mengapa aku harus menghabiskan waktu sekolah ku hanya untuk menyapu, mengepel, dan tak jarang membersihkan closet kamar mandi?”, “Memang loe nggak punya rumah apa”, sahut diriku.
“Alah mau dikata rajin ape? Noh! emak ente di rumah bagimane?”, kira diriku.
Ah, ternyata itu hanyalah imajinasi ku yang terbang tanpa awak layaknya Pesawat Drone ala Amerika. Memborbardir segala potensi kebaikan dalam diri ini, melemahkan tekad mengangkat air dengan ember dari pancuran tempat wudhu ke tengah-tengah padang amalan yang tak terkira.

Hilir mudik para siswa, naik turun tangga para guru di awal hari dengan bentangan samudra biru di atas kepala juga sedikit kekuningan lampu sorot arah timur dari yang maha kuasa, pertanda yang Maha Esa masih memberikan kasih sayangnya kepada kita untuk berubah. “Inilah perubahan!”, sibak rambutku dengan sesekali usapan kedua belah tangan merayu wajah ku.

Sejenak ku terpaku di sudut teras mushala, tak hayal ku lantunkan lagu yang aku sendiri pun tak hapal betul liriknya bahkan Munsyidnya pun saja tak tahu pasti. Tak apalah walaupun hanya sekedar sempat mendengar dari salah satu personal Nasyid sekolah, tapi cukuplah menghibur hati. Yah, walaupun satu bait syair yang diulang-ulang sih.

“Aku ingin mencintai mu setulusnya, sebenar-benar aku cinta dalam Do’a, dalam Ucapan padamu Ya Allah”

Bahkan disaat orang-orang berlari kecil atas urusannya masing-masing tetap ku lantunkan lagu ini, rasanya lagu ini sangat cocok bagi kehidupan ku saat ini. Hingga di satu titik ku hentikan syair yang merdu ini tatkala menghampiri perempuan berambut pendek melintas didepan mushala. Menyala-nyala sudah piston jantung ini, memompa darah bak pertamax yang disulut oleh percikan api dari businya ketika distarter oleh Shumacer. Hingga finish lah ia melalui gerbang sekolah, lalu tak disangka pertamax ane pun habis, hehe.

Keesokan harinya motivasiku berubah, lantunan syair pun ikut berubah yang kali ini sedikit melayu ala Munsyid Innoru.

“Tak pernah ku dapati indahnya sebuah pribadi seperti yang kau miliki,
kau bagaikan karang di tengah lautan,
tetap bertahan dari deburan,
ombak yang menerjang,
…”

Eh, memang benar ada ombak yang menerjang. Ternyata temen satu perjuangan ku kepleset ala Tazmania berguling-guling, maklum badannya segede galon Aqua sih.

Setiap pagi aku dapat dispensasi dari Rohis untuk tidak mengikuti Kajian, kalaupun ikut paling di 5 menit terakhir sebelum bubaran. Namun pagi itu teras mushala tak terlalu kotor hingga tak sulit untuk dibersihkan, jadi kajian setiap pagi sebelum memulai pelajaran kali ini bisa ku ikuti dengan khusyu’.

Dengan sayup-sayup mata mendengar setiap celoteh pengisi kajian pagi ini, layaknya dongeng sebelum tidur yang dibacakan seorang nenek-nenek. Hingga hentak menghujam pendengaran ku atas satu ayat Al-qur’an yang diperdengarkan akhi itu,

ياأْيّها النّبي ّقل ْلأزْواجك وبناتك ونساء المؤْمنين يدْنين من جلا بيبهن ّذلك أدنى أن يعْرفْن فلا يؤْذيْن وكان الله غفورا رحيما

“Wahai Nabi!, Katakanlah kepada Istri-istrimu, anak-anak perempuan mu dan istri-istri mukmin, “Hendaklah mereka menutupkam Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”

Hari itu ia menjanjikan pada kelas ku bahwa besok akan memberitahukan surat apa yang dibacakan atas kami, hingga keluh kesah menyelimuti atas kami yang akan memiliki istri. “Lho? Kok?, hehe”

Surat Al-Ahzab ayat 59 itulah asbabun niat ketika ditanya oleh salah satu akhi di sekolah kami,

“Dek, antum mau bantu kami ngisi nggak?”
Nyeplos deh ini mulut berkata “Mau Akhi!, Mau beuds…”
“Eh akhi, kan aku belum pernah ngisi begimane bise?, ntar yang ada sesat semua pada anak-anak”
“Makanya ikutan On The Job Training dulu”
“Hehe…” Sambil garut-garut kepala
“yang bener ini akhi?”
“bener…”
“Serius?”
“Iy serius, aduh ini anak”, tepuk jidad
“Wah hebat dong?”
“Apanya yang hebat?”, mulai bingung
“yang itu tuh!”, sudah ngelindur tuh imajinasi

Perekrutan dimulai!,

“Kalau mau jago di depan orang ikutan Training mengisi kajian”, sahut akhi Azwar
sambil menempel kertas A4 full warna di Majalah dinding sekolah. Satu lembar lainnya pun ikut nempel di Majalah dinding mushala, dengan versi hitam putihnya ala kantin sekolah.
“HTM?, apa itu? Kok ada Rp. 5.000 nya?”
“Itu namanya iuran untuk ikutan acara itu” sahut teman sebangku ku Lido
“Kok gitu ya?, nggak gratis apa?”
“Modal dong, katanya mau seperti akhi Oksa yang kemarin sempat mengisi kajian di kelas kita kemarin”
“Iy juga sih”, Flash back cerita kemarin dengan lido

Mental miskin itu sebenarnya tidak hanya ada pada orang-orang miskin saja, tapi orang kaya pun ada yang bermental miskin. Contohnya yang sudah kaya masih saja membeli premium atau bensin yang nyata-nyatanya disubsidi dari pajak sebagai sumber terbesar APBN Negara, lah pajak itu pemulung, pengemis, bahkan peminta-minta pun ikut menyumbang. Mengapa mereka tidak pernah mau beralih ke pertamax yang tidak dibebani subsidi?, bukankah itu mental miskin?.

“Do!”
“ehm, iya apa?”
“kalo gue mental miskin kagak?”, sambil menutup sebagian wajah dengan buku
“yah nggak lah, kan kamu dak minta-minta apalagi meminta subsidi seperti yang dibilang Pak Bambang”
“Iy tapi kan…”
“Tapi apa?”
“Tapi kan nyatanya aku ndak bisa bayar HTM untuk acara itu!”
“Acara yang mana?”
“Itu yg pamfletnya ditempel akhi Azwar di Mading mushala?”, sambil menunjuk ke luar jendela
“Oh yang itu?, sabar aja mulai dari sekarang nabung biar bisa ikutan”
“Kamu ikutan do?”
“Ikutan lah, nggak mau kalah dari mu lah!”
“Hehe…”, sambil menepuk punggung teman sebangku yang satu itu

“H-1 sebelum acara baru terkumpul 3000 rape’ah”, masih kurang keluh ku. Sepertinya besok tidak bisa ikut di acara itu, setidaknya aku masih memiliki teman sebangku yang ikut. Jadi bisa ditanya-tanya ilmu apa yang didapat olehnya, untung-untung dia mencatat materinya atau sekedar mengcopy data dari pembicaranya.

Pekerjaan tetap tidak bisa ditinggalkan karena jika terbengkalai banyak dedaunan yang bertebaran dari dahan pohon sebelah mushala. Seperti biasa syair-syair nasyid merdu tak karuan keluar dari lisan ini menemani sebilah sapu bergoyang menyisihkan debu-debu yang berserakan diatas lantai. Sesudahnya pun dibasahi dengan air tak berpewangi diatasnya, agar tetap kinclong bak lantai kaca kerajaan Sulaiman alaihissalam yang dapat melirik birunya air bersamaan ikan-ikan cantik didalamnya.

“Hey kesini!”
“Ana akhi?”, tengok kiri kanan tiada orang
“Iya lah antum, mau siapa lagi coba?”
Ketua Rohis yang memanggil, ialah suatu kehormatan besar bisa berhadap-hadapan di depannya.
“Iya akhi, ada apa? Ada yang bisa dibantu?”
Biasanya ia sering minta bantu membuang sampah pada tempatnya, setelah kotak sampah penuh di tempatnya tatkala ia sibuk dengan urusannya.
“Besok antum ada acara tidak?”, memegang pundak sering menjadi kebiasaan bagi akhi Ichlas ketika berbicara kepada yang lebih muda, aku merasa sikap ini ialah suatu bentuk penghormatan pada yang muda dan norma kesopanan yang luar biasa ketika seseorang ingin perkataannya didengarkan.
dengan sigap aku menjawab, “Tidak ada akhi, ada apa memang”
“Besok tolong bantu akhi Andre ya di seksi peralatan, bisa? Yah sekalian ikutan acaranya, kalau sedang tidak ada kerjaan duduk manis dengarkan pembicaranya”
“Ini beneran akhi?”
“Iya, tapi di proposal nama antum tidak dimasukkan”
Sebenarnya aku mau bertanya apa itu proposal?, tapi sudahlah yang penting aku bisa ikut acara itu.
“Ya tidak apa-apa akhi, syukran ya akhi”
“Afwan, barakallah ya”

Acara selesai dengan lancar meski tubuh letih mendera, merana rasanya karena besok masih hari libur, Alhamdulillah. Meski letih mendera tubuh ini, tapi lebih pilu lagi hati ini ketika ada pada satu momen, dimana akhi Husin yang kabarnya Aktivis Kampus Universitas Muhammadiyah Palembang Jusrusan FKIP Bahasa Inggris berujar tegas.

“Sesungguhnya amalan kita ini bergantung pada niatnya!”, layaknya seorang Umar al-khatab ia menambahkan dengan jelas hadist Rasulullah shalallahu alaihi wassalam

"عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ))"

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang berhijrah kepadanya.” (H.R Bukhari & Muslim)

Sejak saat itu rambut-rambut hitam yang senantiasa bergoyang menyapu lantai menyambut irama merdu Innoru, tidak sendiri menyepi ala edcostic dengan disisipi syair-syair Nasyid Izzatul Islam. Bahkan tak jarang nasihat-nasihat penggugah Tufail al-ghifari menyeruak dibalik lembutnya nasihat-nasihat dari Raihan.

Dan ternyata nasihat dari guru sekolah ku bapak Ahmad menutup keyakinan ku bahwa lelaki dan perempuan akan bermuara satu yang bernama kebaikan dalam Surat An-nur ayat ke 26,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”

Maka cukuplah kekata dari penjaga sekolah kami bapak rizal yang sempat berdongeng mengenai Surga dan Neraka yang nyata, mengkunci keteguhan ku mencari Kaffahnya Islam dulu dalam “Udhuluni fi Silmi Kaffah” baru mencari “Arrijal qowwamuna ala nnisa” nya tulang rusuk ku yang hilang.

Rabu, 24 Oktober 2012

Jalan-Mu Pada Alif kecil-ku


Betapa nelangsa nasib anak kecil yang mengemis dari lagu-lagu tadi, bajunya lusuh tak tertata rapi menghadirkan rasa iba kepada penikmat lagu dangdut jalanan. Disaat seusianya mengemban tugas mulia belajar ilmu pasti, sejarah, bahasa , dan prilaku mulia. Sang anak hanya dapat mempelajari kehidupan dari perjuangan mencari sesuap nasi di tengah jalanan ibu kota.

Gemericing tutup botol Teh Sosro yang dipaku ke sebilah kayu bergetar kesana kemari, sedang senar gitar berpetik mengiringi lagu “Hidup ini adalah anugrah” Karya Band Ibu Kota Jakarta. Entah dari mana mereka bisa melafalkan setiap lirik lagu penyemangat hidup ini dengan fasih, padahal usia mereka masih berumur belia.

“Tetap jalani hidup ini menjadikan yang terbaik, Tuhan Pastikan menunjukkan Kebesaran dan Kuasa-Nya pada Hamba-Nya yang sabar dan tak pernah putus asa”

Sontak bagi siapa pun yang mendengarnya terasa lebih semangat menghadapi pergumulan hidup yang tiada habisnya. Tapi siapa sangka akan berubah rasanya bila dilatunkan oleh teman-teman kecil di bawah lampu merah. Rasanya sedikit lirih menyesak ke hulu dada.

Yah, inilah kenyataan yang wajib dihadapi oleh mereka. Sedikitpun tak ada penyesalan didalam dada-dada mereka terlahir sebagai pejuang jalanan. Bahkan Otak mereka pun tak sempat mengutuki keadaan, keadaan yang membuatnya tak mampu mencicipi ilmu Dunia bahkan akhirat.

“Koran-koran, Koran-koran, korannya Pak, Korannya Buk!”
“Berapa Nak?”
“2500 Rupiah Bu”
“Ini Nak, ambil saja lebihnya”
“Terima kasih Bu!”

Ya Rabbi, 2500 rupiah? Berapa sih untungnya?. Peluh keringat yang mengucur hingga azan zuhur rasanya tidak cukup hanya dibayarkan beberapa ribu rupiah saja. Tak sebanding dengan pengorbanannya merelakan hidup demi mencari secarik lembar rupiah, padahal usianya terbilang muda dan belia, tapi apakah ia mengeluh? Tidak!.

Bahkan si Alif kecil pun tetap bersemangat menghadapi pergumulan hidup, menghidupi diri dan keluarganya. Menabung sedikit demi sedikit dari hasil jerih payah nya menjual Koran di persimpangan Lampu merah. Demi Ilmu yang bisa menghantarkannya kepada indahnya dunia dan abadinya akhirat.


###


“Sesungguhnya Tuhan mu tidak akan mengubah keadaan seorang hamba, sebelum dirinya sendiri yang mengubah keadaannya”
“Abi...”
“Ya Nak”
“Apakah kita sudah dan sedang berusaha mengubah keadaan kita?”
“Tentu Nak”
“Tapi bi,”
“Tapi apa anak ku?”
“Tapi mengapa keadaan kita masih belum berubah, apakah Tuhan tidak sayang lagi kepada kita bi?”

Memandang kedepan sambil membenarkan peci Alif, “Tidak Nak, sama sekali tidak. Justru Allah sekarang sedang mengubah keadaan kita”

Sambil memangku Alif kecil diatas pahanya, Hadi memberikan petuanya, “Nak, Allah akan mengubah kedudukan dan keadaan hambanya hanya pada saat hambanya siap menerimanya”

“Oh jadi sekarang kita masih belum pantas mendapatkannya ya bi?”
“Belum pantas Nak, sampai ketaatan dan ketaqwaan menyelimuti pribadi kita”
“Ayo Nak lanjutkan lagi tilawah mu!”
“Baik Abi,”


###


Umurnya memang masih tergolong belia, tujuh tahun yang belum menghantarkannya mengenyam pendidikan bangku sekolah menjadi kesedihan bagi Alif. Bukan karena tak mau sekolah, melainkan kondisi perekonomian mereka yang pas-pasan, ditambah lagi mahalnya biaya pendidikan saat ini.

Baik anak jua ayah, bukan tak mau menyekolahkan sang pujangga hati. Tapi lebih karena penghasilannya sebagai buruh harian lepas hanya cukup membeli makan di tiga kali keseharian hidup mereka, ditambah harga sewa rumah tempat tinggal mereka meroket naik seiring naiknya harga BBM dan Tarif Dasar Listrik.

Uniknya sang anak terus termotivasi membiayai kehidupan belajarnya sendiri, sekalipun harus berjuang menjual Koran di persimpangan lampu merah. Paling tidak hasil kerja kerasnya itu bisa membantunya menyisihkan uang sedikit demi sedikit untuk mendaftar sekolah di tahun ajaran baru tahun ini.


###


Hujan pun turun berkelindang di depan rumah Alif, namun Abinya yang belum pulang dari mencari nafkah menjadi kegelisahan baginya. Hingga bangku di teras depan menjadi pilihan bagi Alif menunggu Abinya yang belum pulang.

Sambil menatap ke langit hitam yang menyambar dengan kilat-kilatnya menggelegar, si Alif kecil memandang kosong penuh harapan pada Illahi hingga menitikkan butiran demi butiran air matanya. Mengiringi rintihan air hujan yang sedang membasahi bumi.


###


Ketika malam datang mencekam
Kulihat si Alif kecil yang malang
Duduk tengadah kelangit yang kelam
Meratapi nasib diri

Ternyata sedari tadi si Abi kehujanan bersembunyi di balik pohon pisang sebelah rumah, dengan membawa nasi bungkus santapan malam mereka berdua. Namun kali ini ia tidak tega mengejutkan anaknya yang sedang bertafakur berlinangan air mata. Kakinya tertahan oleh basahan pipi Alif yang berwarna merah karena tersedu sedan mendengar rerintihan hujan deras sore ini.

“Alif kecilku maafkan Abi yang tak mampu membahagiakan mu di Dunia”, sahut batin Hadi yang ikut menangis melihat sang anak berlinangan air mata.

Kilat seakan menyambar kedua hati mereka dan hujanpun turun terasa tiada berhenti, membuat hati mereka berdua semakin basah dan resah.
Hingga terlontar di masing-masing benak keduanya, “Kapankah semua ini kan berakhir Ya Rabb?”

Tak kuasa Hadi melihat anaknya menangis sejadi-jadinya, maka diletakkanyalah nasi bungkus tadi diatas meja teras. Lalu diraih tangan Alif dan dirangkulnya tubuh Alif yang kecil, kemudian ia berdo’a kepada sang Pemilik Hujan, pemilik segala pinta.
“Ya Allah tunjukkan jalan-Mu
Pada Alif kecil-ku
Agar dia dapat menahan cobaan dan rintangan
yang datang menghadang”

Suasana menjadi renyuh oleh tangisan suara Abi dan Alif, kini di alam ini bukan hanya kilat yang menyambar, bukan hanya petir yang menggelegar, dan bukan hanya hujan saja yang menari-nari diatas bumi. Tapi hati kedua insan ini pun ikut basah oleh hujan, getir oleh kilat dan sesak oleh petir.


###


Still learning to write, please comment!
:-)

Selasa, 23 Oktober 2012

Cukupkanlah Hamba sebagai Daris

Wahai illahi Rabbi
Sungguh besar nikmat yang Kau hadirkan kepada hamba
Hingga tak sanggup Ranting menjadi Pena
Lalu tak cukup samudra dijadikan Tinta
Menghitung nikmat kehidupan ini

Yaa ahsanul khalik
Bagaimana mungkin Engkau tancapkan Gunung di atas Tanah kami
Mengangkat Langit tak bertiang
Membentangkan Samudra tiga perempat Bumi
Menghadirkan daratan bersama rerumputan dan ilalang

Maha Penabur Rahmat
Tiada kuasa kami atas kehidupan
Walau sekeras apapun Ikhtiar
Walau Sepanjang Do'a pengharapan
Hanya Engkaulah penguasa Safar

Yaa Rabbi pecinta ampunan
Setiap saat kealfaan tergores di Diary
Terkadang kecil kadangkala besar
Memang inilah hamba yang Insany
Istiqomah ialah usaha yang sukar


Pembolak balik hati
Rencana Mu Rahasia yang tak mungkin diketahui
Singga sana Mu yang Agung diatas Arasy
Pertanda Lauhul Mahfuz hanya milik-Mu Pribadi
Maka tuliskan kebaikan bagi kami

Wahai Pemilik Ruh Alam Semesta
Jagat Raya Selalu berotasi juga berevolusi
Tawaf di bawah Kuasa Arasy Mu dengan Tasbih
Maka Wahai Pemilik Ruh
Mudah bagimu mentawafkan ketaatan bagi kami
Dengan Zikir yang Lirih

Arruhul Jadid yang Engkau Janjikan
Pembaharu pembaharu Ruh dengan ketaatan dan ketakwaan

Yaa Rabbil alamin
Tiada ketaatan dan ketaqwaan ila bil ilmin
Maka Karuniakan Setetes air dari lautan ibrah Mu
Agar ketaatan dan ketaqwaan terkarunia indah dari Mu

Wahai Pemilik Miftah dari segala penjuru Pintu
Tuntun Hamba pada ke-Esa-an Mu
Bukalah Darul Kufur wa Kufar
Hingga menjadi Ingkar
Terhadap Thagut dan Syathan Kufar

Maka Yaa Rabbi cukupkanlah Hamba sebagai Daris
Dari Maktabah millah Ibrahim alaihissalam yang Hanif

Minggu, 21 Oktober 2012

Bang Jangan Tinggalkan Salma

Peluru melesat ke segala penjuru, berkeliaran mencari mangsa di segala tempat ia bersembunyi. Sedang terdapat anak kecil belarian kocar kacir mencari saudara lelakinya yg melempari tank-tank besar, dengan rudal yang kabarnya melebihi hulu ledak nuklir milik Amerika. Sahut menyahut dentuman keras keluar masuk telinga ke kepala mereka di sisi jalanan lengang kedamaian.

Wusshhh…,
wusshh…,
wussh…,
terdengar angin yg lalu lalang kesisi kiri dan kanan tubuh pejuang yang kabarnya para teroris haus kemenangan.
Teng…tang…teng…tang…
graakkk,
suara suara khas itu bergantian menggelayuti tiap tiap baja yang gagah di hadapan mereka. Tak hayal, mereka tak gentar menghadapi mobil dinas musuhnya, lantaran mereka memiliki rudal rudal nuklir yang hebat hulu ledaknya…
Abang…!, abaang…
sahut sang adik kecil dari belakang , sambil membawa rudal bersekala kecil di kedua tangannya.
Jangan menyerah bang…!, sampai rudal-rudal kita habis tak bisa terpakai kembali!

Ayooo!..., serbuuu….serbuu terus bang….!

Sambil tersenyum kekiri sedikit keatas sang abang berkata,
Wah Loe gila salma…. Memang ini Game Online apa?, nyawa kita Cuma satu disini, nggak bisa diisi ulang.

Belum sempat membalas apa yang diucapkan abangnya,
tak sengaja dari arah jam duabelas kuningan tajam melesat ke arah mereka,
buuffhh….
rrsss….
tuph..,
menanncap ke sebalah tangan kanan salma.

Nah loe liat sendiri kan bang, gua masih hidup… Nyawa gua banyak… sambil tersipu malu si salma menjawab.

Tak pelak sang abang maju kedepan membawa kayu bakar yang telah disulut dalam dirinya, tanpa memperitungkan berapa banyak rudal yang dibawa oleh nya. Lalu ditembakkanya ke tiap tiap tentara di depannya.
Jegar…jeger…jegar…jegerrrrr…..
Mattttiiii kaliaaannn.....
Seakan rudal rudal itu berlarian ke tujuan yang telah ditentukan,
Wwiiingg….,
akhirnya satu tiga orang tentara hilang kesadaran karena rudal rudalnya yang hebat menancap tepat di dada anti peluru mereka.

Namun karena kurangnya strategi perang yang memadai, sebagai akibat tak mematuhi Konficius. Akhirnya sang abang tergeletak tanpa kaki tertebas parang tajam dari arah samping,
psiuuuff….
krekkk….,
Arrrrggghh… ,
Masyaallah,

Tanpa kehilangan keberanian, ia mencari kembali rudal rudalnya yang berjatuhan, lalu ditembakkanya ke arah tentara tentara itu,
Biusshh…,
biusshhh…,
Tuph…,
tuph…,

Tapi kini memang nasib na’as berpihak pada anak lelaki bernama Abdurrahman ini, setelah kakinya hilang, kini nyawanya pun melayang berkobar syahid dengan dua kalimah syahadat tanpa bimbingan dibawah tank besar yang melindasnya.
Maattiii lah engkau terorisss!!!
matiiiilah kau jahannnamm….,
Sahut tentara berseragam putih padang pasir yg mengatasnamakan diri mereka pasukan perdamaian.
Krrraakkk…, prrraakkk….,
Hannnccuuur kauuuu!!!
hancuuurrr…

Tak pelak saudarinya perempuan tadi yang berusia sepuluh tahun iri & kecewa melihat abangnya mendahuluinya pergi ke pangkuan illahi atas nama syahid membela aqidah mereka.

Seharusnya salma bang,
salma yang menginginkan syahid terlebih dahulu ketimbang abang!,
cukup sudah abang mendahului saya tiga menit terlahir ke dunia ini sepuluh tahun lalu,
Aaarggghh….
Allaaahuuu Akbaaarrr!
Alllaaahuuu Akbaarrr!
Abaangg!
saya tak rela kau tinggalkan aku sendiri disini lalu mendahului ku kembali, sedang engkau menikmati indahnya syurga pertama kali….

Dengan membawa rudal rudal kecil berpenghulu ledak melebihi hulu ledak nuklir amerika,
sambil berteriak kencang ia berlari menuju tentara tentara itu….
Allaahuuu akbaarrr!
Wahai Zionis Laknatullah alaih!
Mattiiiii kauuu!

Guarrr…,
guarrr…,
gerrr…,
ternyata si salma berhasil melemparkan rudalnya ke tiga penjuru tentara itu
dan kalimat thoyibahnya nya kali ini mengakhiri perjuangan nya selam tiga tahun terakhir bersama keluarganya,
dengan kuningan panas yang melesat ke jilbabnya ia berkata
“Alhamdulilllahhh abang saya berhasil…”
Disisi lain para teroris gadungan tetap berjuang menembakkan rudal rudal mereka ke segala penjuru yang mereka inginkan, dengan sedikit lafadz takbirrr akhirnya rudal itu memiliki hulu ledak yang dahsyat dalam menggempur para tentara itu. Bahkan tak sedikit dari mereka mengambil kembali bekas bekas rudal mereka yang berjatuhan sebelumnya,
Yah,
itulah rudal mereka, yang memiliki hulu ledak dahsyat melebihi hulu ledak nuklir amerika,
yaitu rudal dari batu tanah kelahiran mereka sendiri dengan sentuhan kalimat tauhid yang mengEsakan.

Allahummansur fil mujahidin!


Sabtu, 29 September 2012

Jadikanlah ia sebagai Penjaga Layang-layang istrinya

Sambil memandangi langit, seorang janda yang ditinggal mati suaminya satu tahun terakhir terlihat sedang menasihati anaknya yg duduk bersebelahan, bersandar di bahu berkemeja lusuh miliknya.

Sang bunda berkata
"Nak!,
langit itu tak selalu biru..."
terkadang ia Fajar kekuningan, tak jarang juga ia menampilkan senja berkemeja abstrak merah, ataupun disaat akhir2 penantian ia berujung pada kegelapan.

Sambil mengusap pundak kekar berjejerkan lekukan lekukan tulang berzat besi milik anaknya yang menonjol , si ibunda tadi melanjutkan wasiatnya.
"Mungkin sekarang kita sedang menikmati indahnya pelangi,...
tapi seringkali jiwa ini tak sadar bahwa sebelumnya kita pernah melewati hujan hujan kecil maupun hujan hujan yg lebat"

Kemudian tak sengaja, si anak tadi tertunduk lesu sambil mengkerutkan dahinya yg lebar, lalu diangkatnya lah satu alis mata sebelah kanannya menengadahkan jawaban atas semua nasihat dari bundanya itu.

Sesekali terbesit rasa dari hati ibunda tadi untuk mengintip berlinangan kah air mata anaknya itu, belum sempat ia menyibak tabir teduh wajah anaknya saat itu. Sang anak mengangkat terlebih dahulu dahinya yg berlipat menjadi empat bagian, dan dengan senyum polos ia bertanya, “Bu!, apa maksudnya semua nasihat ibu ini?”, sahutnyaa lihir menadah jawaban atas pertanyaan yg dilontarkannya tadi.
Dengan nada bijak terlafaskanlah serangkaian urutan nasihat pamungkas kepada si jagoan kecilnya.
“Nak!,
Jangan berkecil hati bila engkau dihampiri gelap, jangan pula gusar bila dinaungi hujan, atau sekedar mengeluh bila melewati senja apalagi fajar”.
“Ialah hal biasa bila saat langit membiru ada seseorang yg bersedia menemanimu bermain layang-layang di halaman luas membentang, dengan hamparan rerumputan hijau jepang yang halus memanjakan kaki sekalipun tak bersandal, dengan hembusan anginnya yang lantang membawa jerih payah usaha menerbangkan layang-layang kalian dengan mudah”.
“Tapi bilakah Fajar, Senja, Gelap, ataupun Hujan menghampiri ia akan tetap menemani, TIDAK!”

“Tidak wahai anakku yang gagah!,…
karena di saat itulah engkau yang harus menjaga temanmu, menjaganya dalam perlindungan terbaikmu, hingga pada saat senja berlalu digantikan malam sedang fajar menyingsing membawa birunya langit, sekalipun hujan turun dengan intensitas curah yang tak menentu, maka biarkanlah ia tetap membersamai layang-layang kalian, maka tunggulah dan jagalah ia dalam kebersamaan kalian yang kuat. Maka tatkala pelangi datang menghampiri, sepasang kedua buah bola mata ini akan senantiasa sibuk menerbangkan layang-layang kalian kemarin, lalu mengikuti garis-garis indahnya pelangi itu”.
Sambil mamainkan kepalanya yang berpusar dua keatas dan kebawah, sang anak bernama abdul tadi tak sengaja melafalkan kalimat seorang mahasiswa ber-IPK 3,00,
“Oh, jadi begitu ya bun rumusnya,
he…he…”
Tertunduk mengiyakan sang bunda menjawab,
“Iya, betul sekali
wah anak bunda hebat ya seperti ayahnya”
Iyalah, Abdul
Sahut anak itu dengan lugas
Sedangkan Ratna sang ibunda abdul hanya bisa tersenyum malu menatap masalalunya yang tak seindah seperti yang ia bicarakan pada anaknya.
Dengan mengharap ridho-Mu ya Rabb, jadikanlah anakku sebagai penjaga layang-layang bagi wanitanya kelak. Bukan wanitanya yang menjadikan dirinya sebagai penjaga layang-layang bagi anakku.